Ketum SMSI: Selama 10 Tahun Era Jokowi, Media Siber Justru Merasa Dimusuhi
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) – Ketum SMSI: Selama 10 Tahun Era Jokowi, Media Siber Justru Merasa Dimusuhi
Kekhawatiran tersebut disampaikan Firdaus dalam podcast Suara Kita pada Jumat, 26 September 2025, di Kantor Sekretariat bersama SMSI Tangerang Raya baru-baru ini. Ia menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan organisasi, melainkan menyangkut misi besar menuju Indonesia Emas.
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), sebagai asosiasi media siber terbesar di Indonesia, melontarkan kritik keras terkait posisi dan nasib media online selama satu dekade terakhir. Ketua Umum SMSI, Firdaus, secara terbuka menyatakan kegelisahan mendalam bahwa organisasinya merasa dianggap musuh selama sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Kekhawatiran tersebut disampaikan Firdaus dalam podcast “Suara Kita pada Jumat, 26 September 2025, di Kantor Sekretariat bersama SMSI Tangerang Raya baru-baru ini. Ia menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan organisasi, melainkan menyangkut misi besar menuju Indonesia Emas 2045.
Kalau fungsi Dewan Pers seperti itu, saya berpikir Dewan Pers dibubarkan, ujar Firdaus, menyuarakan kritik tajam terhadap lembaga penjaga profesi pers.
Menurutnya, cita-cita Indonesia Emas 2045 akan terhambat jika sekitar 3.000 anggota SMSI sebagai pelaku pers di daerah mati semua akibat ketiadaan regulasi yang adil. Firdaus menegaskan prinsip dasar demokrasi: semua suara media, besar dan kecil, harus didengar.
Firdaus menceritakan bahwa SMSI lahir pada 2016 dari kegelisahan sejumlah jurnalis senior, khususnya fungsionaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang masa jabatannya akan berakhir. Organisasi ini digagas sebagai wadah bermigrasi agar peran dan silaturahmi mereka di dunia pers tidak terputus.
Kita enggak mungkin nanti berkumpul di organisasi purnawirawan TNI. Terus enggak mungkin juga di organisasi purnawirawan Polri atau Korpri, kenang Firdaus, yang saat itu menjabat Ketua PWI Provinsi Banten.
Visi SMSI saat itu adalah meramalkan transisi digital, ketika media cetak diprediksi akan selesai. Namun, sejak kelahirannya, media siber kecil justru dianggap ancaman oleh kelompok media nasional yang memonopoli kue iklan di daerah.
Mereka beri stigma ini media abal-abal, ungkapnya. Padahal, media siber menawarkan jangkauan tak terbatas dan biaya operasional yang lebih rendah, mampu menerobos blokade informasi yang dikuasai konglomerasi.
Firdaus juga menyoroti tantangan baru, yakni kemunculan platform digital personal seperti podcast. Ia mempertanyakan apakah konten yang dikelola perorangan, seperti milik Karni Ilyas atau Abraham Samad, sudah memenuhi kaidah jurnalistik, khususnya prinsip cover both sides.
Negara pun, tokoh-tokoh pers pun yang ada di Dewan Pers kelihatannya belum menyiapkan konsep ini, tandasnya.
Di akhir pernyataannya, Firdaus menyampaikan harapan utamanya: kehadiran negara. Kehadiran yang dimaksud bukan dalam bentuk bagi-bagi proyek iklan, melainkan dalam bentuk regulasi yang menciptakan ruang bagi media siber, terutama yang kecil, untuk berkompetisi sehat.
Di akhir pernyataannya, Firdaus menyampaikan harapan utamanya: kehadiran negara. Kehadiran yang dimaksud bukan dalam bentuk bagi-bagi proyek iklan, melainkan dalam bentuk regulasi yang menciptakan ruang bagi media siber, terutama yang kecil, untuk berkompetisi sehat.
Negara bisa hadir dengan memfasilitasi pelatihan untuk peningkatan SDM, atau menyediakan server bersama bagi media-media startup di daerah, tutupnya, menyerukan agar pemerintah fokus pada kompetisi yang sehat, bukan ketergantungan pada anggaran negara.
Penulis | : Yulianti Banten |
Editor | : Yulianti Banten |